Dalam dunia pendidikan, sering kali kita menitikberatkan pada penguasaan ilmu pengetahuan tanpa menyadari bahwa adab, atau tata krama, memiliki peran yang tak kalah penting. Ilmu yang tinggi tanpa disertai adab hanya akan menciptakan individu yang cerdas secara intelektual tetapi tidak bermoral. Misalnya, seorang ahli teknologi yang menggunakan kemampuannya untuk meretas data orang lain menunjukkan betapa pentingnya adab dalam memanfaatkan ilmu (Al-Ghazali, 2015). Oleh karena itu, penting untuk menempatkan adab di atas ilmu, karena adab adalah fondasi yang menuntun penggunaan ilmu secara benar dan bermanfaat bagi masyarakat. Pendidikan yang hanya berfokus pada aspek kognitif tanpa mempertimbangkan karakter akan menghasilkan generasi yang kurang beretika dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan (Naquib al-Attas, 1993).
Adab merupakan nilai-nilai moral dan etika yang membimbing perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Ini mencakup bagaimana seseorang berperilaku dengan sopan, hormat, dan penuh tanggung jawab terhadap sesama manusia, lingkungan, dan dirinya sendiri. Misalnya, seorang siswa yang memiliki adab akan berbicara dengan sopan kepada gurunya, tidak hanya karena takut dihukum, tetapi karena menyadari pentingnya menghormati orang yang memberikan ilmu (Ibn Jama’ah, 2003). Dalam konteks pendidikan, adab mengajarkan siswa untuk menghargai guru, sesama teman, serta ilmu yang mereka pelajari. Dengan adab, seseorang mampu mengelola ilmunya dengan bijak dan menggunakannya untuk kebaikan. Tanpa adab, ilmu hanya menjadi alat yang potensial disalahgunakan untuk kepentingan pribadi yang merugikan (Imam Nawawi, 1997).
Pendidikan seharusnya tidak hanya fokus pada penyampaian ilmu pengetahuan, tetapi juga pada pembentukan karakter. Seorang siswa yang memiliki adab akan mampu menghargai ilmunya dengan baik dan menggunakannya untuk tujuan yang mulia. Sebagai contoh, seorang dokter yang beradab tidak akan melakukan malpraktik atau mengejar keuntungan pribadi dengan mengorbankan kesehatan pasiennya (Ar-Raghib al-Isfahani, 2012). Sebaliknya, seorang dokter tanpa adab mungkin mengejar keuntungan finansial tanpa memperhatikan kesejahteraan pasiennya. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan harus seimbang antara pengajaran ilmu dan pengembangan adab, karena kedua aspek ini saling melengkapi (Hamka, 2007).
Adab tidak hanya penting dalam pendidikan, tetapi juga menjadi pilar utama dalam kehidupan sosial. Kehidupan yang harmonis di masyarakat hanya bisa terwujud jika setiap individu mengedepankan adab dalam interaksi sehari-hari. Contoh nyata adalah seorang pengusaha sukses yang tetap rendah hati meskipun memiliki kekayaan melimpah, seperti yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dalam banyak hadits tentang kesederhanaan dan kerendahan hati (Sahih Bukhari, Hadits no. 5678). Ilmu pengetahuan tanpa adab dapat menyebabkan kesombongan, perselisihan, dan ketidakpedulian terhadap orang lain. Sebaliknya, adab menjadikan ilmu sebagai alat untuk menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bersama. Dengan adab, seseorang akan lebih sadar akan tanggung jawab sosialnya dan mampu menggunakan ilmu untuk kemaslahatan bersama (Said Nursi, 2004).
Menempatkan adab di atas ilmu bukan berarti meremehkan pentingnya ilmu pengetahuan, tetapi mengingatkan bahwa ilmu harus dikendalikan oleh etika dan nilai-nilai moral. Pendidikan yang menekankan pentingnya adab akan menghasilkan individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berintegritas dan peduli terhadap sesama. Misalnya, seorang ilmuwan yang beradab akan menggunakan penelitiannya untuk kemaslahatan umat, bukan sekadar mengejar ketenaran atau keuntungan pribadi (Naquib al-Attas, 2001). Oleh karena itu, sudah saatnya kita memperkuat pendidikan karakter di sekolah-sekolah agar generasi mendatang dapat menjadi ilmuwan yang beradab, berilmu, dan berakhlak mulia.
Referensi:
• Al-Ghazali, Abu Hamid. (2015). Ihya Ulumuddin. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.
• Naquib al-Attas, Syed Muhammad. (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.
• Ibn Jama’ah, Badruddin. (2003). Tadhkirat al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
• Imam Nawawi. (1997). Al-Majmu’. Beirut: Dar al-Fikr.
• Ar-Raghib al-Isfahani. (2012). Adab al-Dunya wa al-Din. Cairo: Dar al-Hadith.
• Hamka. (2007). Tasawuf Modern. Jakarta: Gema Insani Press.
• Sahih Bukhari. Hadits no. 5678.
• Said Nursi, Badiuzzaman. (2004). Risale-i Nur. Istanbul: Sözler Publications.
• Naquib al-Attas, Syed Muhammad. (2001). Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.
KEBERLANJUTAN ALUMNI SMP UNGGULAN DARUL HIKAM
Kualitas sebuah sekolah tidak hanya ditentukan oleh fasilitas fisik dan kurikulum yang ditawarkan, tetapi juga oleh...